“Dinda tunggu Dinda…..”
Lelaki itu memanggilku sesaat ku berjalan di pertigaan komplek rumah.
“Maaf Kak, ada apa?” aku menghentikan kakiku tanpa sedikitpun berpikir untuk menjauh ataupun pergi saat kusadari lelaki itu memanggilku.
“Dindaa… aku ingin konfirmasi pesan balasan yang Dinda kirim via Whats App empat hari yang lalu kemarin.”
“Apa yang harus dikonfirmasi Kak? Semuanya sudah Dinda jelaskan di pesan itu. Dinda rasa semuanya sudah Dinda sampaikan dan tak ada satupun yang Dinda lewatkan ataupun Dinda sembunyikan.”
“Tapi Dindaa….” Lelaki itu menunduk tanpa kejelasan. “Jika Dinda tidak sedang sibuk, ijinkan Kakak untuk berbicara sepuluh menit saja bersama Dinda. Dinda bisa?.”
“Baik Kak, bisa.”
Aku dan lelaki itupun menghampiri kursi bambu yang tidak jauh dari tempat kita berdiri sekarang. Aku menunggu lelaki ini berbicara. Satu menit telah berlalu… tak ada kata, seperti ada sesuatu yang tersirat, terpikirkan dan tertahan.
“Kaaakkkk….. maaf atas segala keputusan yang telah Dinda buat.” Aku memaksakan memulai pembicaraan.
“Dinda tidak salah. Tapi Kakak yang salah Dinda… selama ini Kakak tau dengan segala ketidak tegasan Kakak, berlama-lama membuat Dinda menunggu dalam ketidak pastian ini. Maafkan kakak… meski kakak tau semua ini tidak akan merubah apapun tapi setidaknya Dinda dan Kakak bisa saling mengikhlaskan satu sama lain. Menapaki jalan dan masa depan dengan jalan kita masing-masing. Maafkan kakak dengan segala keikhlasanmu, setidaknya itu bisa mengobati sedikit sesak yang terus bertambah-tambah di dada ini.”
Matanya seakan perih. Memerah menahan semuanya. Entah itu kekecewaan, penyesalan, ataupun rasa takut kehilangan. Aku tidak tahu… yang jelas kini semuanya sudah berubah. Lelaki yang berada di sampingku sekarang bukanlah lelaki yang kukagumi dulu. Lelaki yang selalu membuat aku nyaman dalam keadaan apapun. Bahkan lelaki ini terlalu sering membuat aku kesal, tapi aku menyukainya. Selama ini tak pernah ada pertemuan setelah dua tahun yang lalu saat masih berada di bangku sekolah. Tapi mengapa kini harus ada perpisahan saat jarak hati ini tak begitu jauh untuk disatukan. Tapi inilah jalan hidup yang aku pilih.
Masih ingat dalam benakku satu bulan yang lalu. Aku mengakui perasaanku terhadap lelaki ini. ‘Kak Zul’ namanya. Aku seorang wanita yang mencoba memberanikan diri dan mengakui perasaanku terhadapnya. Bukan pengakuan cinta ataupun suka. Tapi pengakuan atas keinginanku untuk segera dihalalkan. Aku tahu dan sadar, menikah memang tidak semudah yang dipikirkan karena harus ada kematangan mental di dalamnya. Tetapi itulah konsekuensinya. Akankah kita memilih untuk berjuang bersama-sama untuk kedepannya ataukah menyerah dan kita akan berjalan masing-masing sesuai keinginan kita yang bertolak belakang.
Apa aku egois dengan segala kejujuran hatiku? Tapi lelaki itu menjawab tidak. Dan dia menyampaikan satu kata yang membuat aku ingin mengakhiri percakapan ini. ‘Dindaa… aku ingin memilikimu, tapi aku belum siap untuk meminangmu’. ada rasa sedih saat ku mendengar pengakuannya, tapi aku mencoba menjawab dengan segala kebijaksanaanku. “Baiklah Kak, Dinda mengerti tapi apakah Dinda boleh meminta sesuatu? Dinda ingin, Kakak memenuhi keinginan Dinda ini.” “Insya Allah Dinda” jawab kakak.
“Kak… setelah kita mengetahui masing –masing pengakuan kita. Mulai saat ini dan selanjutnya Dinda ingin kita jalan masing-masing. Kakak fokus dengan jalan kakak dan Dinda fokus dengan jalan Dinda. Dinda tidak ingin di antara kita ada komunikasi dan komitmen apapun.”
“Dindaaa….”
“Maafkan Dinda Kak, Dinda hanya wanita yang lemah. Dinda takut sama Allah. Dinda takut tidak bisa mengendalikan semuanya. Karena jodoh tidak akan kemana, jikalau di perjalanan ini Kakak mendapatkan seseorang yang mampu meluluhkan hati kakak. Dinda tidak akan melarang. Dinda ikhlas jika kakak meminang wanita lain. Dinda ikhlas… tetapi ijinkan pula dinda untuk menentukan dan memilih alur atau jalan hidup Dinda.”
“Dindaa… kita sama-sama tahu kita ingin saling memiliki tetapi pernikahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses di dalamnya Dindaa… Tetapi jika itu yang Dinda inginkan, kakak bebaskan Dinda untuk memilih lelaki yang pantas untuk dijadikan sandaran bagi Dinda. Kakak bebaskan.”
“Baiklah kak… Terimakasih atas keputusan yang melegakan ini.”
Semenjak itu tidak ada lagi komunikasi di antara kita. Tetapi ada satu hal yang membuat aku sakit, lelaki itu men-delete contact BBM-ku. Sebenarnya sangat tidak bermasalah toh selama aku mempunyai kontak BBM-nya tidak begitu sering berkomunikasi kalau bukan membicarakan hal yang penting. Tapi apakah setakut itu hingga aku merasa lelaki ini seolah-olah menghindariku.
“Dinda bisa maafkan kakak?.”
“Dinda sudah mengikhlaskan semuanya, Kak.”
“Terimakasih Dindaa…” Lelaki itu berdiri dan memberikan senyum perpisahan. Senyumnya yang melepaskan ku pergi. Aku melihatnya dengan jelas. Kedua mataku terpaksa menatapnya, membalas senyumannya yang baru sempat aku berikan. ‘Untuk terakhir kali’ Pikirku. Matanya yang memerah berjalan menjauh dari tempatku. Aku kembali tertunduk menahan sesak di dada, Manahan sakit di hati, menahan perih yang menguasai mataku. Karena bagaimanapun, aku harus mengikhlaskannya. Seperti dia yang mengikhlaskanku sebulan yang lalu. bagaimana bisa dia mengikhlaskanku untuk dimiliki lelaki lain. Dimanakah arti cinta yang merupakan suatu perjuangan? Semua yang ku tahu disini hanya kerelaan dan keputus asaan. Aku kecewa. Cinta yang selama ini aku perjuangkan semuanya tak bisa aku pertahankan karena kerelaannya yang membuat aku tersadar. Tersadar karena telah memperjuangkan cinta yang salah. Memperjuangkan cinta yang tak seharusnya untuk diperjuangkan.
“Dindaa…” baru saja berjalan lima langkah, lelaki itu kembali memanggilku. Aku hanya tersenyum menyembunyikan semuanya yang tertahan.
“Jangan lupa bahagia Dindaa.” Katanya yang membuatku kembali tersenyum untuk ketiga kalinya, akupun berjalan berbalik arah dengannya. Melangkah, dan berlari… aku berlari menerobos celah-celah rerumputan yang menghalangi kakiku. Sesampai di rumah kini semuanya tak ada yang tertahan, aku menangis sejadi-jadinya. Karena tidak bisa dipungkiri lagi sangat butuh waktu untuk melepaskan hati seseorang yang selama ini aku jaga dan kupegang erat-erat. Aku mencintainya, dia mencintaiku, tapi kebersamaan itu tidak sedang berpihak pada cinta ini. karena aku dan dia tak bisa bersama. Kini aku akan membuka lembaran baru tanpanya, memperpanjang bait-bait do’a, menuju akad pernikahanku yang kurang lebih tujuh hari lagi. Karena lelaki yang akan aku pilih adalah dia yang berani meminta restu kepada kedua orang tuaku bukan untuk sekedar menjaga atau menggantikan peran kedua orang tuaku. Tapi untuk menyempurnakan tulang rusuknya yang terpatah dan menyatukannya kembali setelah sekian lama terpisah.
Rabu, 16 November 2016
Tak Bisa Bersama
Minggu, 13 November 2016
Jalan Menuju Kamu
Cinta bukan hanya masalah pengorbanan, perjuangan ataupun mengikhlaskan. Karena menurut pendapat salah satu ustadz saat kajian kemarin, arti cinta secara umum adalah melakukan yang terbaik untuk orang yang kita cinta. Jadi cinta mempunyai makna saling menjaga hati antara satu dengan yang lain. Bisa jadi jarak tempat memang bisa menjauhkan, tetapi jarak yang jauh ataupun tempat yang jauh apakah dapat menjaga jarak antara satu hati dengan hati yang lain untuk menjaga hati? Saling berharap dan menunggu dalam ketidak ridhoan-Nya merupakan salah satu bentuk belum menjaga jarak antara hati. Jadi dalam perjalanan ini, ijinkanku untuk menjaga jarak hati ini untuk tidak menunggu ataupun berharap dalam ketidakpastian. Agar jalan menuju kamu berada dalam keridhoan dan restu-Nya. Karena ini merupakan salah satu caraku untuk melakukan yang terbaik untukmu yang belum ku ketahui keberadaannya. Sekian.
#OneDayOneStory
#BelajarNulis
#Fiksi
#NonFiksi
Kamis, 27 Oktober 2016
Kesempatan Terakhir
Selasa, 13 September 2016
Sekeping Hati Milikku
Senin, 12 September 2016
Matriks
Spesifikasi
|
|
Judul Buku
|
Nikah Yuk!
|
Penulis
|
Maulida Mawarti Sasmi
|
Jenis Buku
|
Remaja dan Dewasa
|
Target Pembaca
|
17 th ke atas
|
Fisik Buku
|
Halaman Naskah : 150 Halaman
|
|
Ukuran Buku : 15x10 cm
|
|
Perkiraan Halaman Buku : 200 Halaman
|
|
Perkiraan Harga Jual : 40.000 – 50.000
|
Latar Belakang
|
|
Konsep
|
Mengajak Para Pemuda Pemudi untuk Memahami
Makna Menikah yang sebenarnya dengan tujuan agar terhindar dari hal-hal yang
mendekati zina. Sehingga bisa memilih untuk menikah atau tetap single sampai
halal.
|
Manfaat Pembaca dan Kelebihan
|
Menambahkan semangat bagi pembaca agar
senantiasa selalu berusaha untuk memperbaiki diri di hadapan-Nya dalam
masa-masa menjemput jodoh.
|
Strategi Pemasaran
|
Via Media Sosial dan promo ke
Lembaga-lembaga pendidikan. Sekolah atau Universitas.
|
Sabtu, 03 September 2016
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih..........
Kata Pengantar...................
What Do You Think About Marriage.............................?
Marriage Is My Life..............
Urgensitas Menikah............
Alasan Menunda Menikah...
Single VS Jomblo................
Menjemput Jodoh...............
Penyempurna Separuh Agama.................................
Jodoh Fiisabilillah................
Tentang Penulis...................
Jumat, 26 Agustus 2016
Meninggalkan Jejak untuk Orang yang Dicintai
Hal yang sering terjadi akhir-akhir ini dalam aktifitasku adalah tidak samanya antara ucapanku dengan kata hatiku. Bukan karena munafik (lain di mulut lain di hati) tapi alasan positifnya adalah karena berusaha tidak ingin jujur (Berasa tidak jujur dalam kebaikan). Padahal mungkin banyak orang yang tersakiti hatinya karena ketidak jujuran ini. Di bawah ini adalah contoh kecil tentang ketidak jujuran
“Makan dulu Nak. Capek.”
“Iya nanti saja Mah. Kalau sudah laper, pasti makan kok.”
Hatipun berbicara dalam kesadaran. “Astagfirullah, apakah enggak ada bahasa yang lebih baik selain itu. Apa susahnya Cuma bilang ‘Iya’ tanpa kata-kata alasan di belakangnya yang memang berasa sepele tapi ‘mungkin’ mempunyai makna mendalam bagi sang ‘Mamah’. Menolak tapi terdengar suara kerucuk kerucuk di perut. Apalagi kalau bukan kelaperan?”
Lalu siapa yang salah? Atau mungkin sang anak yang sedang sensitif tidak mau diganggu karena asyik mainin gadget? Sibuk chatingan dengan si ‘do’i’? Sibuk mengerjakan laporan? atau sibuk karena nyusun skripsi? Sepertinya apapun alasannya jika ingin dimudahkan segala urusannya haruslah bersikap baik kepada sang ‘Mamah’ bukankah keridhoan Allah tergantung keridhoan Orang Tua? ‘Maaf Maaah’. Lagi-lagi hanya hati yang mempunyai ketulusan untuk meminta maaf.
Salah satu cara untuk mengklarifikasi ketidak benaran ini adalah dengan menulis. Karena bagiku menulis adalah bentuk ekspresi diri yang tulus dan tidak dapat dipertanyakan legalitasnya. Mengapa? Karena menulis membutuhkan ruang, waktu dan ketenangan dalam mengungkapkan kata-kata yang bersumber dari pikiran yang ditransfer ke dalam hati jika kedua belah pihak ini sama-sama menyetujui dan ‘pantas’ untuk diungkapkan maka tahap selanjutnya adalah digoreskan melalui pena. Ah rasanya benar-benar indah.
Menulis adalah bercerita. Berbagi pengalaman hidup yang di dalamnya ada bentuk-bentuk perjuangan. Seperti memperjuangkan kebahagiaan, perjuangan bangkit dari keterpurukan, perjuangan hanyut dalam kemalasan, perjuangan mengerjakan sesuatu yang tidak bisa menjadi bisa, atau sampai kepada perjuangan menemukan si ‘dia’ sang pemilik tulang rusuk yang tertulis di lauhul mahfudz (apa ceunah). Heheheh
Boleh cerita sedikit yaaaa…. Dibawah ini adalah contoh atau cerita dalam bentuk curhatan. Eh maksudnya adalah contoh alasan mengapa kita (khususnya saya) harus menulis. Menulis untuk mengabadikan momen dalam goresan pena untuk dikenang. Selamat menyimak…
Tidak terasa hampir dua bulan ini aku hampir menuntaskan salah satu mata kuliah praktek di kampus, yaitu magang kerja/internship yang kebetulan mata kuliah ini baru ada di dua tahun terakhir ini karena memakai kurikulum baru. Selama magang kerja di salah satu kantor pemerintah di kotaku yang aku pilih, setiap harinya aku lalui dengan happy layaknya seperti pegawai/staff pekerja beneran yang profesional. Bagaimana tidak? Berangkat pagi, pulang sore kurang lebih sekitar pukul 4. Padahal dari pihak kantor memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepadaku mau masuk atau tidak it’s oke. Tapi bagaimana? Lagi-lagi aku tampil apa adanya dengan caraku. Tidak peduli jika ada yang menyebut saya ‘terlalu rajin’ atau mungkin dikatain kayak anak SMA yang mau-maunya disuruh ini itu. Sedikit sakit sih. Tapi tentunya hidup ini bukan hanya untuk merasakan sakit bukan? Akhirnya karena rasa bahagia yang kumiliki, sakit itu tidak terasa. Aku sendiri sebagai pemeran tidak merasa disuruh-suruh, tidak merasa tertekan, apalagi merasa dibulli. Tidak. Sama sekali aku tidak merasakan itu semua. Aku hanya ingin belajar. Belajar istiqomah dalam ketulusan, belajar memahami karakter setiap orang dan belajar memaknai hidup yang lebih berarti . Bukan ingin cari perhatian ataupun sensasi.
Banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan disini. Aku mendapatkan kesempatan untuk mempunyai kenalan baru, relasi baru, keluarga baru. Gapapa kan aku ingin menganggap mereka keluarga? Oke lanjut…. Ceritanya, dua hari terakhir ke depan adalah hari terakhir aku ngantor. Hari ini (hari kamis) dan hari besok hari jum’at. Tapi aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantor, padahal dua hari ini adalah detik-detik perpisahan. Aku tidak berangkat. Sebenarnya alasanku tidak masuk kantor adalah karena aku tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan untuk perpisahan ini. Sekarang perasaan ini benar-benar sedih. Sedih yang tidak dibuat-buat. Terserah orang lain mau bilang lebay atau alay. Tapi ya seperti ini keadaan perasaanku saat ini.
Selanjutnya aku membuka laptop, mendengarkan musik untuk merelaksasikan kepala dan akhirnya akupun menulis. Pertama aku menulis tentang alasan mengapa harus menulis dan kedua, aku ingin menulis sekilas tentang momen selama di kantor.
Sebenarnya disini tidak ada kata perpisahan, karena akan ada banyak cara untuk terus menyambungkan tali silaturrahim bukan hanya dengan datang setiap hari ke kantor saja kan. Tapi tetap saja, ada perasaan beda di detik-detik terakhir keberadaanku di kantor ini. Entahlah dengan perasaan mereka seperti apa, karena sekarang aku terlalu sibuk dengan menata perasaan ini agar bisa islah dengan semuanya.
Cinta dan kasih sayang adalah dua unsur dalam hidup yang tidak bisa dipisahkan. Saat mencintai dan menyayangi setiap orang sepertinya sang pemilik cinta dan kasih sayang tidak pernah menuntut orang yang dimaksud tahu seberapa besar rasa yang dia punya. Cukup hanya dirinya yang tahu. Mungkin ini sebab dari tidak adanya ruang dan waktu yang serius untuk mengungkapkan semuanya kalau bukan diungkapkan melalui kata-kata tertulis. Maka menulis adalah caraku untuk melepaskan segala kegelisahan dan kegundahan dalam menyayangi orang lain yang tidak tersalurkan atau tersampaikan lewat ucapanku.
Dan yang terakhir alasan mengapa kita harus menulis yaitu mengubah paradigma berpikir manusia dalam realita hidup. Siapakah yang dapat mengubah paradigma berpikir setiap orang? Jawabannya ada pada diri kita sendiri, karena pada dasarnya yang dapat mengubahnya adalah diri sendiri. Lalu bagaimana cara mengubahnya? Membaca! Solusinya adalah dengan membaca. Dengan membaca maka kamu akan mengenal dunia.
Jadi pada intinya menurut versi saya, alasan mengapa kita (khususnya saya) harus menulis adalah untuk meninggalkan jejak untuk orang yang kita cintai agar dikenal dan dikenang dalam arti kebermanfaatannya. Karena ada tiga amal yang tidak akan terputus. Yaitu : sodaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat dan anak solih yang mendo’akan kedua orang tuanya.
Minggu, 15 Mei 2016
Sahabat
Sahabat sejati adalah orang yang paham akan karakter yang kita miliki... mengalah saat kita marah dan membantu saat kita kalah...
Sahabat adalah sosok yang akan selalu menguatkan saat kita berada dalam posisi yang sulit... memberi semangat dan do'a...
Sahabat adalah tempat kita untuk mencurahkan segala kebahagiaan dan kesedihan...
Sahabat adalah dia yang tulus bukan modus...
Sahabat itu aku dan kamu yang kan selalu merindu...
Sabtu, 07 Mei 2016
Masa dan Kerinduan
Asa yang terkubur masa...
sang fajar lelah menunggu senja...
kemanakah harus bermuara...
tak ada tempat untuk bernaung
hingga sang malam kembali menjemput dalam kegelapan...
semua keindahan-Nya terasa semu...
tak ada gairah
tak ada semangat...
berada dalam ketidakpastian yang membuat para hawa gundah dalam ketaatan...