Kamis, 27 Oktober 2016

Kesempatan Terakhir


Tepat pukul 05.00 wib. Suara alarm dengan volume full memekakan telinga bagi siapapun yang mendengarnya. Runi memang sangat sulit untuk bangun pagi hari. Memasang alarm adalah usahanya untuk bangut tepat waktu. Runi selalu memasang alarm meski usahanya masih saja belum berhasil. Sepertinya Runi masih terbuai dengan bunga tidurnya. Ibunda Runi menghampiri Runi yang masih terlelap di kasur kesayangannya yang sudah setia menemaninya hampir 17 tahun.
            “Runi anak bunda yang cantik, ayo bangun sayang udah jam 5. Waktu subuh sudah lewat. Ayo bangun nak. Shalat subuh dan bergegas untuk siap-siap berangkat sekolah,” ibunda Runi membangunkannya penuh dengan lemah lembut dan kasih sayang.
            “Masih ngantuk bunda, Runi tidur larut malam. Jam 1 Runi baru tidur.” Runi masih menutup matanya. “Ayolah sayang, masa anak kesayangan bunda mau melalaikan kewajibannya sebagai muslim? Di akhir nanti yang dihakimi pasti bunda, karena tidak berhasil membangunkan Runi untuk melaksakan shalat. Ayo sayang,” kata-kata terakhir bunda membuat Runi terbangun dan memeluk bundanya.
            “Astaghfirullah bunda. Terimakasih karena selalu mengingatkan Runi yang selalu khilaf ini. Maaf, karena Runi masih belum berubah sampai sekarang, Runi akan berusaha lagi untuk bangun tepat waktu Bunda.” Runi bergegas mengambil air wudhu, shalat dan siap-siap untuk berangkat ke sekolah. 20 menit kemudian, Runi membuka pintu kamar tanda sudah rapi dan siap untuk berangkat.
            “Sarapan dulu nak. Bunda sudah masak nasi goreng kecap sama telor mata sapi kesukaan kamu.”
            “Iya bunda.” Runi melahap sarapan paginya dengan penuh semangat sampai habis. Teh manis yang sudah disiapkan oleh bundanya diteguk sampai tetesan terakhir meski sudah dingin karena disiapkan bunda sejam yang lalu. “Aku berangkat ya bunda. Assalamu’alaikum.” Runi mencium punggung tangan bundanya dan berangkat sekolah. “Wa’alaikumussalam, hati-hati di jalan ya Nak,” pesan bundanya.
            Selangkah dua langkah Runi mantap melangkahkan kakinya penuh dengan percaya diri dan semangat. Beberapa menit sudah berlalu, perlahan meninggalkan jejaknya dari rumah. Tiba-tiba Runi mengecek handphonenya, dibuka tas ranselnya untuk sekedar memastikan pesan masuk dari seseorang yang mungkin saat ini sudah setia menunggunya dipertigaan sana.
            “Astagfirullah. Hp ku ketinggalan di kamar.” Seketika itu juga Runi berbalik arah menuju rumahnya. Berlari dengan mengerahkan segala kemampuannya. Hingga beberapa meter Runi berlari terlihat sosok bundanya di depan sana Runi berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Bundanya tersenyum. Runi berlari lagi menghampiri bundanya sambil tergopoh-gopoh. “Bunda ada yang tertinggal,” keluh Runi sambil mengatur nafas yang belum stabil dan mengusap keringat yang hampir terjatuh. “Ini handphone nya. Suka kebiasaan selalu ada yang ketinggalan. Nanti kamu  harus lebih teliti lagi Runi, akhirnya kamu  jadi capek sendiri.”
            “Iya bunda terimakasih banyak. Runi berangkat ya.” Runi pergi setelah mencium pipi kanan bundanya.
            Runi kembali berlari karena merasa sangat telat. Jam di tangannya menunjukkan pukul 07.30 masih ada waktu 30 menit, gumamnya dalam hati. Sambil berlari Runi menyempatkan membuka HP-nya 10 message receive. Semua pesan tercantum nama “AWAN” dengan huruf kapital semua. Hanya pesan terakhir yang sempat dibacanya. “Masih dimana? Kamu sakit? Enggak masuk sekolah? Balas pesannya!!!”
            Runi tidak menghiraukan pesannya. Terus berjalan dan tertuju pada satu titik di persimpangan jalan. “Ah dia ternyata masih menunggu.” Runi melihat sesosok laki-laki yang mungkin seseorang yang sudah mengirimkan pesan berkali-kali dengan nama ‘AWAN’ di handphone nya. Runi tetap fokus berlari hingga sampai di depan seseorang yang sudah menunggunya sejak lama.

***********Bersambung*************