Jumat, 26 Agustus 2016

Meninggalkan Jejak untuk Orang yang Dicintai

Hal yang sering terjadi akhir-akhir ini dalam aktifitasku adalah tidak samanya antara ucapanku dengan kata hatiku. Bukan karena munafik (lain di mulut lain di hati) tapi alasan positifnya adalah karena berusaha tidak ingin jujur (Berasa tidak jujur dalam kebaikan). Padahal mungkin banyak orang yang tersakiti hatinya karena ketidak jujuran ini. Di bawah ini adalah contoh kecil tentang ketidak jujuran
“Makan dulu Nak. Capek.”
“Iya nanti saja Mah. Kalau sudah laper, pasti makan kok.”
Hatipun berbicara dalam kesadaran. “Astagfirullah, apakah enggak ada bahasa yang lebih baik selain itu. Apa susahnya Cuma bilang ‘Iya’ tanpa kata-kata alasan di belakangnya yang memang berasa sepele tapi ‘mungkin’ mempunyai makna mendalam bagi sang ‘Mamah’. Menolak tapi terdengar suara kerucuk kerucuk di perut. Apalagi kalau bukan kelaperan?”
Lalu siapa yang salah? Atau mungkin sang anak yang sedang sensitif tidak mau diganggu karena asyik mainin gadget? Sibuk chatingan dengan si ‘do’i’? Sibuk mengerjakan laporan? atau sibuk karena nyusun skripsi? Sepertinya apapun alasannya jika ingin dimudahkan segala urusannya haruslah bersikap baik kepada sang ‘Mamah’ bukankah keridhoan Allah tergantung keridhoan Orang Tua? ‘Maaf Maaah’. Lagi-lagi hanya hati yang mempunyai ketulusan untuk meminta maaf.
Salah satu cara untuk mengklarifikasi ketidak benaran ini adalah dengan menulis. Karena bagiku menulis adalah bentuk ekspresi diri yang tulus dan tidak dapat dipertanyakan legalitasnya. Mengapa? Karena menulis membutuhkan ruang, waktu dan ketenangan dalam mengungkapkan kata-kata yang bersumber dari pikiran yang ditransfer ke dalam hati jika kedua belah pihak ini sama-sama menyetujui dan ‘pantas’ untuk diungkapkan maka tahap selanjutnya adalah digoreskan melalui pena. Ah rasanya benar-benar indah.
Menulis adalah bercerita. Berbagi pengalaman hidup yang di dalamnya ada bentuk-bentuk perjuangan. Seperti memperjuangkan kebahagiaan, perjuangan bangkit dari keterpurukan, perjuangan hanyut dalam kemalasan, perjuangan mengerjakan sesuatu yang tidak bisa menjadi bisa, atau sampai kepada perjuangan menemukan si ‘dia’ sang pemilik tulang rusuk yang tertulis di lauhul mahfudz (apa ceunah). Heheheh
Boleh cerita sedikit yaaaa…. Dibawah ini adalah contoh atau cerita dalam bentuk curhatan. Eh maksudnya adalah contoh alasan mengapa kita (khususnya saya) harus menulis. Menulis untuk mengabadikan momen dalam goresan pena untuk dikenang. Selamat menyimak…
Tidak terasa hampir dua bulan ini aku hampir menuntaskan salah satu mata kuliah praktek di kampus, yaitu magang kerja/internship yang kebetulan mata kuliah ini baru ada di dua tahun terakhir ini karena memakai kurikulum baru. Selama magang kerja di salah satu kantor pemerintah di kotaku yang aku pilih, setiap harinya aku lalui dengan happy layaknya seperti pegawai/staff pekerja beneran yang profesional. Bagaimana tidak? Berangkat pagi, pulang sore kurang lebih sekitar pukul 4. Padahal dari pihak kantor memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepadaku mau masuk atau tidak it’s oke. Tapi bagaimana? Lagi-lagi aku tampil apa adanya dengan caraku. Tidak peduli jika ada yang menyebut saya ‘terlalu rajin’ atau mungkin dikatain kayak anak SMA yang mau-maunya disuruh ini itu. Sedikit sakit sih. Tapi tentunya hidup ini bukan hanya untuk merasakan sakit bukan? Akhirnya karena rasa bahagia yang kumiliki, sakit itu tidak terasa. Aku sendiri sebagai pemeran tidak merasa disuruh-suruh, tidak merasa tertekan, apalagi merasa dibulli. Tidak. Sama sekali aku tidak merasakan itu semua. Aku hanya ingin belajar. Belajar istiqomah dalam ketulusan, belajar memahami karakter setiap orang dan belajar memaknai hidup yang lebih berarti  . Bukan ingin cari perhatian ataupun sensasi.
Banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan disini. Aku mendapatkan kesempatan untuk mempunyai kenalan baru, relasi baru, keluarga baru. Gapapa kan aku ingin menganggap mereka keluarga? Oke lanjut…. Ceritanya, dua hari terakhir ke depan adalah hari terakhir aku ngantor. Hari ini (hari kamis) dan hari besok hari jum’at. Tapi aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantor, padahal dua hari ini adalah detik-detik perpisahan. Aku tidak berangkat. Sebenarnya alasanku tidak masuk kantor adalah karena aku tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan untuk perpisahan ini. Sekarang perasaan ini benar-benar sedih. Sedih yang tidak dibuat-buat. Terserah orang lain mau bilang lebay atau alay. Tapi ya seperti ini keadaan perasaanku saat ini.
Selanjutnya aku membuka laptop, mendengarkan musik untuk merelaksasikan kepala dan akhirnya akupun menulis. Pertama aku menulis tentang alasan mengapa harus menulis dan kedua, aku ingin menulis sekilas tentang momen selama di kantor.
Sebenarnya disini tidak ada kata perpisahan, karena akan ada banyak cara untuk terus menyambungkan tali silaturrahim bukan hanya dengan datang setiap hari ke kantor saja kan. Tapi tetap saja, ada perasaan beda di detik-detik terakhir keberadaanku di kantor ini. Entahlah dengan perasaan mereka seperti apa, karena sekarang aku terlalu sibuk dengan menata perasaan ini agar bisa islah dengan semuanya.
Cinta dan kasih sayang adalah dua unsur dalam hidup yang tidak bisa dipisahkan. Saat  mencintai dan menyayangi setiap orang sepertinya sang pemilik cinta dan kasih sayang tidak pernah menuntut orang yang dimaksud tahu seberapa besar rasa yang dia punya. Cukup hanya dirinya yang tahu. Mungkin ini sebab dari tidak adanya ruang dan waktu yang serius untuk mengungkapkan semuanya kalau bukan diungkapkan melalui kata-kata tertulis. Maka menulis adalah caraku untuk melepaskan segala kegelisahan dan kegundahan dalam menyayangi orang lain yang tidak tersalurkan atau tersampaikan lewat ucapanku.
Dan yang terakhir alasan mengapa kita harus menulis yaitu mengubah paradigma berpikir manusia dalam realita hidup. Siapakah yang dapat mengubah paradigma berpikir setiap orang? Jawabannya ada pada diri kita sendiri, karena pada dasarnya yang dapat mengubahnya adalah diri sendiri. Lalu bagaimana cara mengubahnya? Membaca! Solusinya adalah dengan membaca. Dengan membaca maka kamu akan mengenal dunia.
Jadi pada intinya menurut versi saya, alasan mengapa kita (khususnya saya) harus menulis adalah untuk meninggalkan jejak untuk orang yang kita cintai agar dikenal dan dikenang dalam arti kebermanfaatannya. Karena ada tiga amal yang tidak akan terputus. Yaitu : sodaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat dan anak solih yang mendo’akan kedua orang tuanya.