Rabu, 16 November 2016

Tak Bisa Bersama

“Dinda tunggu Dinda…..”
Lelaki itu memanggilku sesaat ku berjalan di pertigaan komplek rumah.
“Maaf Kak, ada apa?” aku menghentikan kakiku tanpa sedikitpun berpikir untuk menjauh ataupun pergi saat kusadari lelaki itu memanggilku.
“Dindaa… aku ingin konfirmasi pesan balasan yang Dinda kirim via Whats App empat hari yang lalu kemarin.”
“Apa yang harus dikonfirmasi Kak? Semuanya sudah Dinda jelaskan di pesan itu. Dinda rasa semuanya sudah Dinda sampaikan dan tak ada satupun yang Dinda lewatkan ataupun Dinda sembunyikan.”
“Tapi Dindaa….” Lelaki itu menunduk tanpa kejelasan. “Jika Dinda tidak sedang sibuk, ijinkan Kakak untuk berbicara sepuluh menit saja bersama Dinda. Dinda bisa?.”
“Baik Kak, bisa.”
Aku dan lelaki itupun menghampiri kursi bambu yang tidak jauh dari tempat kita berdiri sekarang. Aku menunggu lelaki ini berbicara. Satu menit telah berlalu… tak ada kata, seperti ada sesuatu yang tersirat, terpikirkan dan tertahan.
“Kaaakkkk….. maaf atas segala keputusan yang telah Dinda buat.” Aku memaksakan memulai pembicaraan.
“Dinda tidak salah. Tapi Kakak yang salah Dinda… selama ini Kakak tau dengan segala ketidak tegasan Kakak, berlama-lama membuat Dinda menunggu dalam ketidak pastian ini. Maafkan kakak… meski kakak tau semua ini tidak akan merubah apapun tapi setidaknya Dinda dan Kakak bisa saling mengikhlaskan satu sama lain. Menapaki jalan dan masa depan dengan jalan kita masing-masing. Maafkan kakak dengan segala keikhlasanmu, setidaknya itu bisa mengobati sedikit sesak yang terus bertambah-tambah di dada ini.”
Matanya seakan perih. Memerah menahan semuanya. Entah itu kekecewaan, penyesalan, ataupun rasa takut kehilangan. Aku tidak tahu… yang jelas kini semuanya sudah berubah. Lelaki yang berada di sampingku sekarang bukanlah lelaki yang kukagumi dulu. Lelaki yang selalu membuat aku nyaman dalam keadaan apapun. Bahkan lelaki ini terlalu sering membuat aku kesal, tapi aku menyukainya. Selama ini tak pernah ada pertemuan setelah dua tahun yang lalu saat masih berada di bangku sekolah. Tapi mengapa kini harus ada perpisahan saat jarak hati ini tak begitu jauh untuk disatukan. Tapi inilah jalan hidup yang aku pilih.
Masih ingat dalam benakku satu bulan yang lalu. Aku mengakui perasaanku terhadap lelaki ini. ‘Kak Zul’ namanya. Aku seorang wanita yang mencoba memberanikan diri dan mengakui perasaanku terhadapnya. Bukan pengakuan cinta ataupun suka. Tapi pengakuan atas keinginanku untuk segera dihalalkan. Aku tahu dan sadar, menikah memang tidak semudah yang dipikirkan karena harus ada kematangan mental di dalamnya. Tetapi itulah konsekuensinya. Akankah kita memilih untuk berjuang bersama-sama untuk kedepannya ataukah menyerah dan kita akan berjalan masing-masing sesuai keinginan kita yang bertolak belakang.
Apa aku egois dengan segala kejujuran hatiku? Tapi lelaki itu menjawab tidak. Dan dia menyampaikan satu kata yang membuat aku ingin mengakhiri percakapan ini. ‘Dindaa… aku ingin memilikimu, tapi aku belum siap untuk meminangmu’. ada rasa sedih saat ku mendengar pengakuannya, tapi aku mencoba menjawab dengan segala kebijaksanaanku. “Baiklah Kak, Dinda mengerti tapi apakah Dinda boleh meminta sesuatu? Dinda ingin, Kakak memenuhi keinginan Dinda ini.” “Insya Allah Dinda” jawab kakak.
“Kak… setelah kita mengetahui masing –masing pengakuan kita. Mulai saat ini dan selanjutnya Dinda ingin kita jalan masing-masing. Kakak fokus dengan jalan kakak dan Dinda fokus dengan jalan Dinda. Dinda tidak ingin di antara kita ada komunikasi dan komitmen apapun.”
“Dindaaa….”
“Maafkan Dinda Kak, Dinda hanya wanita yang lemah. Dinda takut sama Allah. Dinda takut tidak bisa mengendalikan semuanya. Karena jodoh tidak akan kemana, jikalau di perjalanan ini Kakak mendapatkan seseorang yang mampu meluluhkan hati kakak. Dinda tidak akan melarang. Dinda ikhlas jika kakak meminang wanita lain. Dinda ikhlas… tetapi ijinkan pula dinda untuk menentukan dan memilih alur atau jalan hidup Dinda.”
“Dindaa… kita sama-sama tahu kita ingin saling memiliki tetapi pernikahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses di dalamnya Dindaa… Tetapi jika itu yang Dinda inginkan, kakak bebaskan Dinda untuk memilih lelaki yang pantas untuk dijadikan sandaran bagi Dinda. Kakak bebaskan.”
“Baiklah kak… Terimakasih atas keputusan yang melegakan ini.”
Semenjak itu tidak ada lagi komunikasi di antara kita. Tetapi ada satu hal yang membuat aku sakit, lelaki itu men-delete contact BBM-ku. Sebenarnya sangat tidak bermasalah toh selama aku mempunyai kontak BBM-nya tidak begitu sering berkomunikasi kalau bukan membicarakan hal yang penting. Tapi apakah setakut itu hingga aku merasa lelaki ini seolah-olah menghindariku.
“Dinda bisa maafkan kakak?.”
“Dinda sudah mengikhlaskan semuanya, Kak.”
“Terimakasih Dindaa…” Lelaki itu berdiri dan memberikan senyum perpisahan. Senyumnya yang  melepaskan ku pergi. Aku melihatnya dengan jelas. Kedua mataku terpaksa menatapnya, membalas senyumannya yang baru sempat aku berikan. ‘Untuk terakhir kali’ Pikirku. Matanya yang memerah berjalan menjauh dari tempatku. Aku kembali tertunduk menahan sesak di dada, Manahan sakit di hati, menahan perih yang menguasai mataku. Karena bagaimanapun, aku harus mengikhlaskannya. Seperti dia yang mengikhlaskanku sebulan yang lalu. bagaimana bisa dia mengikhlaskanku untuk dimiliki lelaki lain. Dimanakah arti cinta yang merupakan suatu perjuangan? Semua yang ku tahu disini hanya kerelaan dan keputus asaan. Aku kecewa. Cinta yang selama ini aku perjuangkan semuanya tak bisa aku pertahankan karena kerelaannya yang membuat aku tersadar. Tersadar karena telah memperjuangkan cinta yang salah. Memperjuangkan cinta yang tak seharusnya untuk diperjuangkan.
“Dindaa…” baru saja berjalan lima langkah, lelaki itu kembali memanggilku. Aku hanya tersenyum menyembunyikan semuanya yang tertahan.
“Jangan lupa bahagia Dindaa.” Katanya yang membuatku kembali tersenyum untuk ketiga kalinya, akupun berjalan berbalik arah dengannya. Melangkah, dan berlari… aku berlari menerobos celah-celah rerumputan yang menghalangi kakiku. Sesampai di rumah kini semuanya tak ada yang tertahan, aku menangis sejadi-jadinya. Karena tidak bisa dipungkiri lagi sangat butuh waktu untuk melepaskan hati seseorang yang selama ini aku jaga dan kupegang erat-erat. Aku mencintainya, dia mencintaiku, tapi kebersamaan itu tidak sedang berpihak pada cinta ini. karena aku dan dia tak bisa bersama. Kini aku akan membuka lembaran baru tanpanya, memperpanjang bait-bait do’a, menuju akad pernikahanku yang kurang lebih tujuh hari lagi. Karena lelaki yang akan aku pilih adalah dia yang berani meminta restu kepada kedua orang tuaku bukan untuk sekedar menjaga atau menggantikan peran kedua orang tuaku. Tapi untuk menyempurnakan tulang rusuknya yang terpatah dan menyatukannya kembali setelah sekian lama terpisah. 

Minggu, 13 November 2016

Jalan Menuju Kamu


Cinta bukan hanya masalah pengorbanan, perjuangan ataupun mengikhlaskan. Karena menurut pendapat salah satu ustadz saat kajian kemarin, arti cinta secara umum adalah melakukan yang terbaik untuk orang yang kita cinta. Jadi cinta mempunyai makna saling menjaga hati antara satu dengan yang lain. Bisa jadi jarak tempat memang bisa menjauhkan, tetapi jarak yang jauh ataupun tempat yang jauh apakah dapat menjaga jarak antara satu hati dengan hati yang lain untuk menjaga hati? Saling berharap dan menunggu dalam ketidak ridhoan-Nya merupakan salah satu bentuk belum menjaga jarak antara hati. Jadi dalam perjalanan ini, ijinkanku untuk menjaga jarak hati ini untuk tidak menunggu ataupun berharap dalam ketidakpastian. Agar jalan menuju kamu berada dalam keridhoan dan restu-Nya. Karena ini merupakan salah satu caraku untuk melakukan yang terbaik untukmu yang belum ku ketahui keberadaannya. Sekian.

#OneDayOneStory
#BelajarNulis
#Fiksi
#NonFiksi