“Sudahlah Mas, tak usah menghubungiku lagi untuk saat
ini dan selamanya, aku hanya takut Allah tidak ridho dengan semua ini.” Malam
ini aku mengirimkan pesan singkat via WhatsApp kepada salah satu teman dunia
mayaku, yang akhir-akhir ini sudah terlalu sering menjalin komunikasi. Selama ini
aku selalu menghindar dengan apapun chat yang dikirimnya. Tapi untuk kali ini
aku tidak bisa mengendalikan kenyamananku aku menikmatinya.
Setelah itu, aku tidur dengan segala ketenangan yang
menyelimuti perasaanku. Tidak lupa, handphone kumatikan sebelum tidur. Keesokan
harinya aku aktifkan hp dan data internetnya aku on kan. Puluhan chat memenuhi
history pesan WhatsAppku dengan teman yang satu ini. Salah satunya yaitu :
“Arumi, menikahlah denganku. Kupastikan kau akan
bahagia berada di sampingku. Ini adalah pesan terakhirku, dan aku tidak akan
mengirimkan pesan lagi kepadamu sebelum kamu memberikan jawaban kepadaku. Jika
kamu bersedia menikah denganku, maka kita akan diskusikan untuk rencana
selanjutnya tapi kalaupun kamu tidak menerimaku, maka balasan pesan yang nanti
kamu kirimkan adalah pesan terakhir dari history percakapan kita. Aku tunggu
sampai kamu siap untuk memberikan jawaban terbaikmu. Aku hanya ingin meminta
maaf atas segala kekhilafanku yang selalu mengganggumu dengan pesan-pesanku, hanya
satu yang harus kamu tahu karena keberanianku untuk menghalalkanmu menjadi
teman hidupku baru ada saat kuterima pesan perpisahan darimu. Aku hanya takut
kehilangan dan aku tidak ingin menyesal karena belum mengutarakan maksud dan
tujuanku yang sebenarnya.” - Yusuf –
Ada perasaan haru di dalamnya. Aku hanya ‘read’
pesannya tanpa membalasnya. Jam di handphoneku menunjukkan pukul 09.30
kulaksanakan dua raka’at shalat dhuha dan dipenghujungnya kusematkan do’a-do’a
yang benar-benar menguras batinku. Meminta petunjuk-Nya agar senantiasa selalu
diberikan kelapangan dalam berpikir dan memutuskan apa yang harus aku putuskan
menuju masa depan yang akan kujalani selanjutnya.
Dengan mengucap Bismillahirrahmaanirrahiim… ku balas
sms Mas Yusuf dua minggu yang lalu.
“Bismillahirrahmaanirrahiim…
Assalamu’alaikum Mas, sebelumnya Rumi ingin mengucapkan mohon maaf yang
sebesar-besarnya karena telah mengirimkan pesan terakhir Rumi seperti itu. Tetapi
maksud dari pesan itu bukan berarti Rumi ingin memutuskan tali silaturrahiim.
Rumi hanya ingin berusaha untuk melakukan yang terbaik buat kita berdua. Tetapi
setelah membaca pesan dari Mas. Rumi melaksanakan Istikharah bersama keluarga
selama dua minggu terakhir ini. Rumi dan pihak keluarga ingin memberikan
jawaban terhadap maksud Mas Yusuf kepada Rumi. Mas Yusuf, semoga Allah meridhoi
maksud dan tujuan mulia mas Yusuf ini, dan Rumi bersedia menjadi Istri Mas.
Semoga Allah Ridho atas jawaban ini.”
Aku tahu mas yusuf sekarang sedang online WhatsAppnya.
Setelah dua menit berlalu, Mas Yusuf membalasnya.
“Wa’alaikumussalam wr. Wb…. MaasyaAllah. Terimakasih atas
jawaban Rumi yang selama dua minggu ini Mas menunggunya dengan kegelisahan yang
tiada tara. Terimakasih karena telah bersedia untuk menjadi Istri Mas. Nanti ba’da
Isya, Mas dan Keluarga akan menemui kedua orang tua Rumi. InsyaAllah Allah
meridhoi niat baik kita. Jangan henti untuk tetap panjatkan do’a-do’amu ya Rum.”
Tak terasa air mataku menetes tak terbendung lagi. Ada
keharuan yang luar biasa di dada ini. sujud syukur ku haturkan kepada-Nya.
Allah… Terimakasih atas segala petunjuk dan karunia-Mu yang telah Engkau
berikan kepada hamba.
************
“Rumi. Apakah kamu bahagia?.”
“Menurutmu?.”
“Entahlah Rum. Hanya satu yang saat ini Mas cemaskan
dalam hidup Mas. Mas takut kamu tidak bahagia bisa berada di samping Mas.”
“Mas. Apakah Mas lupa dengan janji mas di pesan
whatsApp itu? Bahwa mas akan pastikan kalau aku akan bahagia berada
disampingmu. Sekarang yang ingin aku tanyakan, bagaimana perasaan mas sekarang
setelah menjadi suamiku?.”
“Rumit untuk aku jelaskan Rum. Ada keharuan disini,
kebahagiaan yang tak cukup untuk mas ungkapkan dengan kata-kata sama Rumi. Mas
bahagia, saaaaaaangat bahagia.” Mata Mas Yusuf yang berkaca-kaca terlihat penuh
ketulusan memandangi wajahku saat ketika mengungkapkan kata-kata itu.
“Baiklah Mas. Kali ini Rumi akan jujur dengan
perasaan Rumi. Kebahagiaan yang kini Rumi rasakan adalah berkali-kali lipat
atas kebahagiaan yang Mas Yusuf rasakan saat ini. Rumi bahagia bisa berada di
samping Mas. Kini ijinkan Rumi untuk menghapus segala lara yang saat ini dan
seterusnya Mas rasakan. Dan terimakasih karena telah mengijinkan Rumi untuk
melengkapi sekeping hati milik Mas Yusuf.”
Setelah ku akhiri kata-kataku, tanpa ada kata lagi,
Mas Yusuf memelukku sembari menangis tersedu-sedu dalam bahuku. Aku bahagia…
Lirihku kemudian.